Amarah Merapi Tak Kunjung Padam - 64 Tewas Terpanggang
Saturday, November 6, 2010
Saking dahsyatnya, sedikitnya 64 orang tewas terpanggang awan panas dan ratusan jiwa lainnya luka-luka tersapu wedhus gembel—sebutan lain awan panas, sebelum mereka menyelematkan diri.
Korban tewas tersebut baru yang tercatat di RS dr Sardjito Yogyakarta. Belum termasuk korban jiwa yang belum berhasil dievakuasi di sejumlah desa karena masih tertutup awan panas.
Tewasnya 64 orang ini menambah panjang daftar warga yang tewas akibat keganasan merapi menjadi 109 orang. “Iya, total korban meninggal 109 orang. 64 saat ledakan Jumat dini hari kemarin, selebihnya 45 pada ledakan pertama 26 Oktober lalu,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Penanganan Bencana dan Sosial, Andi Arief, kepada wartawan, kemarin.
Tragisnya, ke-64 orang tewas di itu satu daerah, yakni Argo Mulyo, Kecamatan Cangkringan yang berjarak sekitar 16 kilometer dari puncak Merapi. Total korban luka mencapai 78 orang, belum termasuk korban luka di Klaten, Jawa Tengah, sebanyak 13 orang.
”Semuanya mengalami luka serius. Rata-rata luka bakar mencapai 40 persen,” kata Kepala Humas RS Sardjito, Trisno Heru Nugroho. Menurut Heru, saat ini para korban luka masih menjalani perawatan.
Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Pusdalops BNPB) melaporkan, korban tewas tersebut sudah termasuk warga Yogya dan Jawa Tengah. BNPB juga mengakui jumlah korban masih bisa bertambah karena belum semua wilayah berhasil disisir petugas.
Banyaknya korban tewas dan luka bakar karena awan panas meluncur sangat cepat sejauh lebih dari 20 kilometer. Awan ini langsung menyapu pemukiman di sepanjang sisi timur-barat Kaligendol.
Sekitar pukul 08.30 WIB, Jumat kemarin, JPNN bersama tim evakuasi mendatangi dusun tersebut. Ternyata, kondisinya jauh lebih parah. Desa yang terletak 10 meter sebelah barat Kali Gendol tersebut luluh lantak. Sekitar 15 rumah yang ada sudah berwarna abu-abu dalam kondisi yang tak utuh. Atap jebol, tembok roboh.
Di tempat ini, tim mengevakuasi jasad ibu-anak. Dua jasad tersebut terpanggang dalam keadaan si ibu tengah memeluk anaknya yang diperkirakan berusia 4 tahun. Di dekatnya, tergeletak sebuah sepeda motor. Juga dalam keadaan hancur. Tinggal rangka gosong, dan bannya sudah meleleh akibat dilabrak awan panas suhunya mencapai 800 derajat celcius.
“Tampaknya mereka hendak melarikan diri, tapi tak sempat,” kata seorang relawan yang mengevakuasi keduanya.
Tumpukan abu vulkanik di tempat itu tingginya mencapai setengah meter di atas permukaan tanah. Dan bila tidak berhati-hati, kaki bisa kejeblos di timbunan abu yang masih sangat panas.
Hanya hitungan menit di desa itu, tim evakuasi berhasil mengambil 15 jenazah. Namun, itu hanya sebahagian kecil saja. Masih banyak tulang-tulang dan jasad yang jika diangkat akan ter;pisah satu bagian dengan bagian tubuhnya yang sudah gosong itu.
Setelah sekitar dua jam melakukan evakuasi, semuanya diperintahkan turun kembali, setelah sirine tanda bahaya kembali meraung-raung memberi isyarat merapi akan meletus lagi. Semuanya langsung bergegas turun ke arah kota Yogyakarta. Di Gadingan, Cangkringan, tim dari Mer-C bahkan nyaris menjadi korban.
“Awan panas sudah tinggal beberapa meter di belakang kami, sebelum akhirnya kena angin dan berbelok arah,” kata Turwaji, pengemudi ambulans Mer-C.
Seismograf Rusak
Di bagian lain, meski telah meletus sangat besar, dan tercatat meletus empat kali dalam 10 hari terakhir, namun status Merapi masih awas. Ini karena masih terjadi aktivitas vulkanik yang cukup tinggi.
Kemarin pagi, Kabid Geologi Departemen ESDM Sukhyar mengatakan, letusan kali ini cukup hebat. “Paling dashyat sejak letusannya pada 1870,” katanya.
Sukhyar juga mengatakan, Merapi masih aktif, dan belum bisa diprediksi kapan berhenti menyemburkan awan panas dan material vulkanik lainnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Jogjakarta, Subandriyo. “Awan panas yang terjadi mengalir ke Kali Gendol, Kali Krasak, Kali Boyong, dan Kali Bebeng. Merata ke semua arah,” paparnya. Namun, yang paling besar memang mengarah ke Kali Gendol.
Subandriyo mengungkapkan, hingga kemarin Merapi masih tetap beraktivitas. Dan BPPTK sulit melakukan pemantauan. Selain visual Merapi yang tiga hari terakhir tertutup kabut, tiga dari empat seismograf (alat pencatat gempa) BPPTK rusak.
“Hanya tinggal yang di Plawangan itu saja,” katanya. Tiga lainnya rusak pada tanggal 4 dan 5 November lalu, tepat menjelang letusan besar. “Sepertinya terkena awan panas,” ucapnya.
Rencananya, pihaknya akan memasang satu seismograf lagi di Jrakah untuk memantau kondisi Merapi. “Pemasangannya menunggu situasi Merapi sudah aman,” ujarnya.
Letusan Merapi yang terbesar ini juga memakan korban yang cukup banyak. Dari pantauan Jawa Pos hingga pukul 19.30 WIB, jumlah korban tewas sudah mencapai 80 orang.
Dari pantauan JPNN, setidaknya ada tiga dusun yang terkena awan panas paling parah. Yakni, dusun Bronggang Suruh, Ngadingan, dan Jambon. Ketiganya terletak di hulu Kali Gendol dan termasuk dalam desa Argo Mulyo.
Dari pantauan di handy talkie, masih ada sekitar 20 orang yang terjebak di dusun Jambon. Tak bisa keluar karena terkeliling abu panas, dan tim evakuasi pun juga tak bisa mengakses ke sana.
Labrakan awan panas sejauh hingga 15 km dan menghantam Argo Mulyo sangat mengejutkan. Karena letak desa ini jauh di belakang barak pengungsian besar di Hargobinangun, Wukirsari, Kepuharjo, dan Glagaharjo.
Untung saja, begitu aktivitas Merapi meningkat sejak pukul 16.00 WIB, Kamis (4/11) lalu, para pengungsi di tiga barak terbesar langsung dievakuasi ke barak UII.
Pemerintah daerah juga sudah membentuk dua tempat pengungsian. Yakni, pertama di Stadion Maguwaharjo, dan yang satu di Youth Centre. Di Youth Centre, total pengungsi hingga sore kemarin mencapai lebih dari 4.000 jiwa. Sementara itu, di stadion Maguwoharjo ada 36 ribu pengungsi.
Karena letusan yang terjadi pada dini hari kemarin, maka suasana ribut dan bingung terjadi. Karena para petugas harus mengevakuasi dan mengatur tempat, transportasi, dan akomodasi untuk sekitar 40 ribu orang.
“Kami sudah berusaha sekuat tenaga, dan sudah dikelompokkan sesuai kelompok desanya masing-masing,” kata Gubernur DIJ Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Terpisah dari Orangtua
Meski sudah berusaha diatur, namun sejumlah kebingungan terjadi. Pardi, misalnya. Warga Wukisari tersebut terpisah dengan istri dan dua anaknya.
“Tadi karena terburu-buru naik truk yang berbeda. Jadi ini saya masih mencari, red),” kata pria paro baya tersebut.
Terpisah dengan keluarga, terpisah dengan rombongannya membuat suasana di stadion Maguwoharjo menjadi hiruk pikuk. Tak terhitung berapa kali petugas mengumumkan melalui megaphone nama-nama yang ada, dan kini dicari siapa.
Yang paling parah adalah proses evakuasi. Selain malam, hujan pasir vulkanis yang menimpa seantero Yogyakarta membuat jarak pandang tak lebih dari lima meter. Sekitar 30 orang yang kemarin masuk ke Instalasi Rawat Darurat RSUD dr. Sardjito diakibatkan karena kecelakaan.
Lahar Dingin Mengancam, Penerbangan Dibatalkan
Di bagian lain, satu ancaman lagi masih patut diperhatikan. Yakni, turunnya lahar dingin. Kemarin, lahar dingin sudah mencapai Kali Code, yang berada di kota DIJ.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala BPPTK, Subandriyo. “Memang sudah masuk Kali Code, tapi kuantitasnya masih belum terlalu membahayakan,” tuturnya.
Selain itu, meletusnya Merapi kembali membuat pihak Bandara Adisutjipto membatalkan semua penerbangan. Per harinya, di bandara itu tercatat ada 30 kali penerbangan. Tak ayal, pembatalan ini membuat ratusan penumpang yang terlantar di Bandara.
Pihak maskapai penerbangan kemudian memilih cara masing-masing. Pihak Lion Air memilih untuk melakukan refund, sementara pihak Mandala memberikan fasilitas penggantian waktu penerbangan hingga tiga bulan ke depan.
http://www.batampos.co.id/64-tewas-terpanggang.html#more-21360
Labels:
News
0 comments:
Post a Comment